Thursday 10 July 2014

[Resensi] Trilogi Negeri 5 Menara (versi Rina Asmara)


“Ahmad Fuadi (yang selanjutnya akan di tulis A.Fuadi) lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau 1972. A.Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama, Pondok Modern Gontor.  Gontor mengajarkan padanya mantra sederhana yang sangat kuat “Man Jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
A.Fuadi telah mendapatkan banyak beasiswa untuk belajar di luar negri, Bukunya Negri 5 Menara telah diangkat ke layar lebar dan mendapatkan banyak penghargaan. Kini, A.Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker, serta membangun yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia dini yang kurang mampu – Komunitas Menara. “

Begitulah sepenggal biografi  A.Fuadi dari buku Rantau 1 Muara. Jujur saya sangat mengagumi sosok A.Fuadi (salahsatu penulis indonesia yang terbitan bukunya selalu saya nantikan), mungkin semenjak membaca Novel Triloginya yang pertama saya menjadi merasa ketagihan untuk membaca karyanya terus sampai semua seri nya berakhir. Dan pada kesempatan kali ini, saya akan mereview apa yang telah saya baca beberapa tahun silam.


Novel Trilogi Negri 5 menara mampu menghipnotis saya ketika membacanya pertama kali, di perpustakaan SMA. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA (Kalau tidak salah, ketika saya tengah tertarik-tertariknya membaca novel yang merupakan peralihan dari membaca komik (saat SMP) ke masa membaca Novel (SMA)).

Membaca Negeri 5 Menara, seakan ikut merasakan apa yang sehari-hari dijalani oleh Alif (tokoh utama dalam Novel Negeri 5 Menara) di Pondok Modern Gontor. Saya ikut membayangkan bagaimana rasanya bangun tiap subuh, mengikuti kegiatan disana yang bisa dibilang “keras” (bagi orang lembek seperti saya), bagaimana rasanya membiasakan lidah untuk menggunakan tiga bahasa wajib di Gontor (Indonesia, Arab, B.Inggris). Kebetulan saya juga ada ketertarikan dalam bahasa, terutama bahasa Inggris. Saya sangat terkesima dengan pengalaman Alif berpidato di depan seluruh penghuni Gontor, bagaimana dia mempersiapkannya supaya tidak menjadi biasa saja, supaya (istilahnya) seluruh mata tertuju padanya, bagaimana trik supaya pidatonya sukses dengan gaya soekarno-nya (kalau tidak salah).

Saya juga merasa takjub ketika alif mengisahkan bagaimana mimpi (maksud saya mimpi bunga tidur) pertamanya yang menggunakan percakapan bahasa inggris, mulai saat itu saya pun bertanya-tanya apakah saya pernah bermimpi dalam bahasa inggris, dan saya rasa belum pernah, kemudia beberapa saat dari itu, saya bermimpi dan dalam mimpi itu ada percakapan bahasa inggrisnya, saya merasa senang kala itu. Tak lupa juga pengalaman alif yang sering berkirim surat dengan sahabat penanya di luar negeri, tak mau kalah saya pun terinspirasi dan memulai untuk menjalin hubungan sahabat pena, namun kemudian tidak berjalan lancar karena satu dan lain halnya.

Buku kedua dari Trilogi Negri 5 Menara adalah Ranah 3 Warna, dengan tajuk “Man Shabara Zhafira” buku kedua ini juga saya pinjam dari perpustakaan SMA. Dalam Ranah 3 Warna menceritakan tentang Alif yang masuk jenjang perkuliahan, bagaimana kecewanya dia tak bisa masuk ITB, sementara sahabatnya Randai bisa. Alif terdaftar sebagai salahsatu mahasiswa HI Unpad. Inilah salahsatu hal yang mendasari saya juga mengapa ingin masuk kuliah HI unpad, karena membaca Ranah 3 Warna ini sangat menyenangkan, ada banyak kesamaan passion antara Alif dan sosok saya pribadi, suka menulis, berdiplomasi, ingin ke luar negri (kuliah disana atau menjadi wartawan untuk indonesia di luar negri), wawasan tentang kedaerahan, membaca, dan dalam berbahasa, pun dengan menjadi seorang wartawan, FYI saja ya (bukan menyombongkan maaf) saya pernah mengikuti lomba news casting dua kali, saya merasa senang dan rasanya cocok. Namun kemudian harapan saya pupus di HI Unpad. Biarlah, Allah tau yang terbaik untuk hambanya.

Dalam Ranah 3 Warna pula, alif dalam kurun waktu beberapa tahun saja dapat menginjakan kakinya di tiga tanah yang berbeda (dengan sepatu yang  sama), diantaranya tanah sunda (ketika kuliah di Unpad Jatinangor), tanah timur (ketika transit), dan tanah asal daun Maple, Kanada. Hal ini ada sedikit kemiripan dengan apa yang saya alami, ketika saya SMA saya memliki sepatu yang saya pakai di berbagai kegiatan ketika sudah menginjak perkuliahan, PPSM (ospek jurusan), LDKM kuliah, Pelantikan Pramuka, dan ketika Pergi Kemah Nasional di Semarang pun saya pakai sepatu itu.

Ranah 3 warna mengajarkan saya bahwa selalu ada buah manis dari kesabaran, selalu saya tanamkan dalam diri ketika merasa lelah akan aktivitas yang segunung, dengan tugas kuliah yang seabreg, dan kegiatan organisasi yang padat, SABAR. Allah tak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuan hambanya. Ber-lelah-lelah-lah, karena manisnya hidup akan terasa kemudian. Epic.
Agak narsis ya pake foto saya nya, lihat ada tandatangan A.Fuadi nya :)
Dilanjutkan ke Triloginya yang terakhir yaitu Rantau 1 Muara dengan tagline Man saara ala darbi washala (Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan). Menurut saya buku yang ketiga ini lebih matang, matang dalam artian bukan lagi hanya asik ketika dibaca saat saya masih duduk di bangku SMA, tapi matang ketika dibaca saya saat menjadi mahasiswa, atau mungkin akan terasa lebih renyah ketika dibaca seseorang yang sudah lulus kuliah dan tengah sibuk dalam pencarian, baik itu pencarian kerja ataupun pencarian pasangan hidup alias JODOH (sengaja jodohnya di capslock biar menarik perhatian).

Alif akhirnya menemukan apa yang dicarinya, apa yang sebenaranya ditujunya, pekerjaan yang membawanya ke Washington DC, dan tak lupa juga menemukan jodohnya, Mantra Man saara ala darbi washala (Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan) yang menuntun alif untuk sampai pada pencarian hidup yang sesungguhnya, bahwa hidup kita di bumi ini adalah sebagai perantau, bagaimana layaknya perantau, akan tiba saatnya kembali ke akar, ke yang Satu, ke yang awal. Muara segala muara.
Satu paragraf terakhir di cover belakang buku Rantau 1 Muara, yakni begini:

Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang.

Barangkali di novel yang ketiga ini tak bisa terlalu saya kaitkan dengan hidup saya, karena kebetulan saya belum lulus kuliah, pun tak tengah mencari pasangan hidup se-tergesa-gesa itu. Hanya saja yang saya dapatkan ketika menunggu novel ketiga ini sangat berkesan, dengan prinsip sabar yang dilebihkan, akhirnya saya mendapat paket novel ini secara lebih, saya memiliki dua, dikarenakan suatu hal, mungkin ini yang dinamakan buah dari kesabaran.

Novel Rantau 1 Muara yang satu nya lagi akan saya jaga baik-baik, untuk muara saya kelak nantinya, menantika sosok seperti Alif (mungkin, dalam versi saya tentunya, bukan versi novel) yang akan hadir dalam hidup saya, yang akan mengajak saya bertualang ke penjuru indonesia, atau bahkan ke penjuru dunia, tak ada yang mustahil-kan selagi kita yakin dan berjalan di jalan Nya.
Jadi bagaimana sosok alif yang ada di benak anda?
*tersenyum*
Salam~

(ditulis pada Ramadhan-12)

0 komentar:

Post a Comment