“Ahmad Fuadi (yang selanjutnya
akan di tulis A.Fuadi) lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau
1972. A.Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah
agama, Pondok Modern Gontor. Gontor
mengajarkan padanya mantra sederhana yang sangat kuat “Man Jadda wajada, siapa
yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
A.Fuadi telah mendapatkan banyak
beasiswa untuk belajar di luar negri, Bukunya Negri 5 Menara telah diangkat ke
layar lebar dan mendapatkan banyak penghargaan. Kini, A.Fuadi sibuk menulis,
menjadi public speaker, serta membangun yayasan sosial untuk membantu
pendidikan anak usia dini yang kurang mampu – Komunitas Menara. “
Begitulah sepenggal biografi A.Fuadi dari buku Rantau 1 Muara. Jujur saya
sangat mengagumi sosok A.Fuadi (salahsatu penulis indonesia yang terbitan
bukunya selalu saya nantikan), mungkin semenjak membaca Novel Triloginya yang pertama
saya menjadi merasa ketagihan untuk membaca karyanya terus sampai semua seri
nya berakhir. Dan pada kesempatan kali ini, saya akan mereview apa yang telah saya baca beberapa tahun silam.
Novel Trilogi Negri 5 menara mampu menghipnotis saya ketika membacanya pertama kali, di perpustakaan SMA. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA (Kalau tidak salah, ketika saya tengah tertarik-tertariknya membaca novel yang merupakan peralihan dari membaca komik (saat SMP) ke masa membaca Novel (SMA)).
Membaca Negeri 5 Menara, seakan
ikut merasakan apa yang sehari-hari dijalani oleh Alif (tokoh utama dalam Novel
Negeri 5 Menara) di Pondok Modern Gontor. Saya ikut membayangkan bagaimana
rasanya bangun tiap subuh, mengikuti kegiatan disana yang bisa dibilang “keras”
(bagi orang lembek seperti saya), bagaimana rasanya membiasakan lidah untuk
menggunakan tiga bahasa wajib di Gontor (Indonesia, Arab, B.Inggris). Kebetulan
saya juga ada ketertarikan dalam bahasa, terutama bahasa Inggris. Saya sangat
terkesima dengan pengalaman Alif berpidato di depan seluruh penghuni Gontor,
bagaimana dia mempersiapkannya supaya tidak menjadi biasa saja, supaya
(istilahnya) seluruh mata tertuju padanya, bagaimana trik supaya pidatonya
sukses dengan gaya soekarno-nya (kalau tidak salah).
Saya juga merasa takjub ketika
alif mengisahkan bagaimana mimpi (maksud saya mimpi bunga tidur) pertamanya
yang menggunakan percakapan bahasa inggris, mulai saat itu saya pun
bertanya-tanya apakah saya pernah bermimpi dalam bahasa inggris, dan saya rasa
belum pernah, kemudia beberapa saat dari itu, saya bermimpi dan dalam mimpi itu
ada percakapan bahasa inggrisnya, saya merasa senang kala itu. Tak lupa juga
pengalaman alif yang sering berkirim surat dengan sahabat penanya di luar negeri,
tak mau kalah saya pun terinspirasi dan memulai untuk menjalin hubungan sahabat
pena, namun kemudian tidak berjalan lancar karena satu dan lain halnya.
Buku kedua dari Trilogi Negri 5
Menara adalah Ranah 3 Warna, dengan tajuk “Man Shabara Zhafira” buku kedua ini
juga saya pinjam dari perpustakaan SMA. Dalam Ranah 3 Warna menceritakan
tentang Alif yang masuk jenjang perkuliahan, bagaimana kecewanya dia tak bisa
masuk ITB, sementara sahabatnya Randai bisa. Alif terdaftar sebagai salahsatu
mahasiswa HI Unpad. Inilah salahsatu hal yang mendasari saya juga mengapa ingin
masuk kuliah HI unpad, karena membaca Ranah 3 Warna ini sangat menyenangkan,
ada banyak kesamaan passion antara Alif dan sosok saya pribadi, suka menulis,
berdiplomasi, ingin ke luar negri (kuliah disana atau menjadi wartawan untuk
indonesia di luar negri), wawasan tentang kedaerahan, membaca, dan dalam
berbahasa, pun dengan menjadi seorang wartawan, FYI saja ya (bukan
menyombongkan maaf) saya pernah mengikuti lomba news casting dua kali, saya
merasa senang dan rasanya cocok. Namun kemudian harapan saya pupus di HI Unpad.
Biarlah, Allah tau yang terbaik untuk hambanya.
Dalam Ranah 3 Warna pula, alif
dalam kurun waktu beberapa tahun saja dapat menginjakan kakinya di tiga tanah
yang berbeda (dengan sepatu yang sama),
diantaranya tanah sunda (ketika kuliah di Unpad Jatinangor), tanah timur (ketika
transit), dan tanah asal daun Maple, Kanada. Hal ini ada
sedikit kemiripan dengan apa yang saya alami, ketika saya SMA saya memliki
sepatu yang saya pakai di berbagai kegiatan ketika sudah menginjak perkuliahan,
PPSM (ospek jurusan), LDKM kuliah, Pelantikan Pramuka, dan ketika Pergi Kemah
Nasional di Semarang pun saya pakai sepatu itu.
Ranah 3 warna mengajarkan saya
bahwa selalu ada buah manis dari kesabaran, selalu saya tanamkan dalam diri
ketika merasa lelah akan aktivitas yang segunung, dengan tugas kuliah yang
seabreg, dan kegiatan organisasi yang padat, SABAR. Allah tak akan menguji
hambanya melebihi batas kemampuan hambanya. Ber-lelah-lelah-lah, karena
manisnya hidup akan terasa kemudian. Epic.
Agak narsis ya pake foto saya nya, lihat ada tandatangan A.Fuadi nya :) |
Dilanjutkan ke Triloginya yang
terakhir yaitu Rantau 1 Muara dengan tagline Man
saara ala darbi washala (Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai ke
tujuan). Menurut saya buku yang ketiga ini lebih matang, matang dalam artian
bukan lagi hanya asik ketika dibaca saat saya masih duduk di bangku SMA, tapi
matang ketika dibaca saya saat menjadi mahasiswa, atau mungkin akan terasa
lebih renyah ketika dibaca seseorang yang sudah lulus kuliah dan tengah sibuk
dalam pencarian, baik itu pencarian kerja ataupun pencarian pasangan hidup
alias JODOH (sengaja jodohnya di capslock biar menarik perhatian).
Alif akhirnya menemukan apa yang
dicarinya, apa yang sebenaranya ditujunya, pekerjaan yang membawanya ke
Washington DC, dan tak lupa juga menemukan jodohnya, Mantra Man saara ala darbi washala (Siapa yang
berjalan di jalannya akan sampai ke tujuan) yang menuntun alif untuk sampai
pada pencarian hidup yang sesungguhnya, bahwa hidup kita di bumi ini adalah
sebagai perantau, bagaimana layaknya perantau, akan tiba saatnya kembali ke
akar, ke yang Satu, ke yang awal. Muara segala muara.
Satu paragraf terakhir di cover
belakang buku Rantau 1 Muara, yakni begini:
Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang.
Barangkali di novel yang ketiga
ini tak bisa terlalu saya kaitkan dengan hidup saya, karena kebetulan saya
belum lulus kuliah, pun tak tengah mencari pasangan hidup se-tergesa-gesa itu. Hanya
saja yang saya dapatkan ketika menunggu novel ketiga ini sangat berkesan,
dengan prinsip sabar yang dilebihkan, akhirnya saya mendapat paket novel ini
secara lebih, saya memiliki dua, dikarenakan suatu hal, mungkin ini yang
dinamakan buah dari kesabaran.
Novel Rantau 1 Muara yang satu
nya lagi akan saya jaga baik-baik, untuk muara saya kelak nantinya, menantika
sosok seperti Alif (mungkin, dalam versi saya tentunya, bukan versi novel) yang
akan hadir dalam hidup saya, yang akan mengajak saya bertualang ke penjuru
indonesia, atau bahkan ke penjuru dunia, tak ada yang mustahil-kan selagi kita
yakin dan berjalan di jalan Nya.
Jadi bagaimana sosok alif yang
ada di benak anda?
*tersenyum*
Salam~
(ditulis pada Ramadhan-12)
0 komentar:
Post a Comment